Kehamilan Ketiga, Bagaimana Rasanya?

kehamilan ketiga

Hampir sama seperti kehamilan kedua, kehamilan ketiga ini benar-benar tidak terduga. Terjadi begitu saja, hehe.

Namun tidak perlu heran sih kalau saya bisa hamil lagi dalam waktu dekat, wong KB saja tidak.

Sebenarnya setelah melahirkan anak kedua saya sudah berencana hendak pasang KB. Hanya saja sampai usia Fath hampir dua tahun rencana tersebut seperti hanya sekadar wacana.

Ya, walau sudah ada keinginan buat KB but honestly saya belum sepenuhnya siap menerima ‘benda asing’ masuk ke dalam tubuh. Ditambah lagi suami nggak mendesak saya buat KB.

Itu jadi alasan mengapa saya tidak segera menggunakan alat kontrasepsi setelah melahirkan dua anak dengan jarak dekat.

Alasan lainnya, karena sedari awal pernikahan saya dan suami memang tidak ada perencanaan yang mendetail mengenai anak.

Mau anak berapa, mau usia mereka terpaut berapa tahun? Nggak ada pembicaraan serius ke arah sana.

Kalau ada rencana kan pastinya setelah melahirkan anak pertama saya akan mengatur jarak kehamilan dengan KB. Namun itu tidak saya lakukan.

Alhasil saya hamil anak kedua saat si kakak baru berusia 7 bulan. Nah, kehamilan ketiga ini lumayan jauh jaraknya.

Setidaknya usia Fath sudah dua tahun ketika saya telat haid dan mendapati hasil test pack menunjukkan dua garis merah.

Kehamilan Ketiga, Bagaimana Rasanya?

Kalau ditanya bagaimana perasaan saya saat tahu hamil lagi sementara kakak-kakaknya baru berusia 2 dan 3 tahun? Jawaban saya cuma speechles.

Reaksi saya memang tidak sama seperti saat tahu hamil pertama kali, yang begitu terharu dan bahagia. Maklum, setelah menikah saya harus menanti selama tujuh bulan baru dikasih amanah buat mengandung.

Beda halnya dengan kehamilan kedua, yang tanpa harus menunggu lama alhamdulillah cepat dikasih.

Of course, saya bahagia menyambut kehamilan kedua saya karena dari dulu saya memang pengen punya anak kembar atau paling tidak bisa punya dua anak dengan jarak dekat.

Lantas bagaimana dengan kehamilan ketiga ini?

Alih-alih menyebutnya sebagai kehamilan yang tidak direncanakan, saya lebih suka menyebut kehamilan ketiga saya sebagai kehamilan tidak terduga. Kejutan dari Tuhan yang harus tetap saya syukuri.

Saya tahu, di luar sana ada banyak perempuan yang menangisi bahkan merutuk kehamilannya lantaran belum siap untuk memiliki anak lagi.

Saya pun demikian. Mengurus dua bocah saja saya belum becus? Ini malah dikasih amanah lagi. Apakah saya siap? Apakah saya sanggup?

Saya memang tidak yakin dengan diri saya sendiri, tapi saya yakin ketika Allah memberikan amanah itu kepada saya, itu artinya saya memiliki kesanggupan untuk memikulnya.

Lagipula hamil bukan perkara yang mudah, kan? Di luar sana juga masih banyak pasutri yang berjuang bertahun-tahun bahkan hingga belasan tahun untuk dapat memiliki momongan. Maka alangkah kufurnya saya bila sampai meratapi kehamilan ketiga saya ini.

So far, perasaan saya lebih ke arah bersyukur. Saya tidak menangis, apalagi sampai merutuk.

Kalau reaksi suami ya seperti biasa, saat saya beritahu, mau itu hamil anak pertama, kedua atau ketiga ekspresi yang dia tampakkan sama saja. Datar!

Meski begitu dia adalah orang yang paling antusias menyambut kehamilan saya. Antusiasnya itu ditunjukkan dengan tidak bosan ingetin istrinya yang suka ngeyel dan kurang disiplin ini buat minum suplemen plus susu kehamilan secara teratur. Tidak pernah ketinggalan juga buat nemanin istrinya check up kehamilan di dokter obgyn

Support dari suami juga jadi hal yang sangat saya syukuri.  Untungnya dia mau menerima istrinya hamil lagi (ya harus dong, wong dia yang hamili, wkwk)

Memaknai Kehamilan

menaknai kehamilan

Saya percaya bahwa setiap kehamilan tidak lepas dari campur tangan Tuhan. That’s why, ada yang tetap hamil sekali pun sudah menggunakan alat kontrasepsi.

Sebaliknya ada yang tidak KB pun namun hingga berbilang tahun lamanya setelah melahirkan anak pertama tak kunjung hamil lagi.

Nyatanya tidak semua perempuan bisa hamil dengan mudah. Menjalani kehamilan itu sendiri juga sungguh tidak mudah.

Macam-macam keluhannya. Mulai dari mual, muntah, tidak nafsu makan, begah, susah tidur, hingga badan pegal-pegal. Belum lagi menjalani fase persalinan yang perjuangannya antara hidup dan mati.

Berat. Sungguh berat.

Namun ini juga hal yang sangat saya syukuri. Alhamdulillaah dua kali kehamilan dan persalinan sebelumnya berhasil saya lewati tanpa trauma.

Makanya saya berani untuk hamil kesekian kalinya. Coba kalau ada riwayat trauma sebelumnya mungkin saya akan berpikir 1000 kali untuk nambah anak lagi.

Tapi ya kan, anak merupakan hak prerogatif Allah. Meski ogah tambah anak, kalau Tuhan berkehendak menitipkan janin lagi di rahim kita, apa yang bisa kita lakukan?

Untuk itu penting banget menjalani masa kehamilan dan proses persalinan yang minim trauma. Biar kalau misal ditakdirkan hamil lagi bawaannya nggak stres, malah happy.

Kehamilan, entah itu tidak diinginkan, tidak direncanakan, tidak disangka-sangka, whatever, tetap harus disambut dengan rasa syukur. Begitulah saya memaknai kehamilan.

Memang sih semasa hamil ada macam-macam keluhannya, bahkan tak jarang saya mengeluh sama suami. Namun dengan mengeluh bukan berarti saya tak bersyukur lho. 

Justru kalau saya mengeluh itu tandanya saya pengen dimanja, hehe. Dan yah saya menikmati setiap keluhan apa pun yang saya rasakan saat hamil. Karena bagi saya kehamilan itu nikmat.

Sembunyikan atau Umumkan Kehamilan?

jurnal-kehamilan

Bicara mengenai kabar kehamilan ini saya jadi ingat dengan Ria Ricis yang sempat menyembunyikan kehamilannya di trimester awal. Kabar bahagianya itu baru dia umumkan ketika baby bumpnya mulai kelihatan.

Ketika ditanya mengapa kehamilannya tidak diekspos sejak awal? Alasannya karena takut penyakit ‘ain, takut kehamilannya kenapa-kenapa.

Alasan yang wajar. Karena kabar kehamilan tidak harus selalu diumumkan, kan? Terlebih saat masih hamil muda, kondisi kandungan belum begitu kuat sehingga segala kemungkinan bisa saja terjadi.

Waktu hamil anak pertama saya juga sempat memutuskan untuk tidak mengumbar kehamilan saya di media sosial dan hanya memberitahu orang-orang terdekat saja.

Pasalnya itu adalah anak pertama yang telah saya nantikan bersama suami selama berbulan-bulan. Saya merasa was-was saja.

Ya, meski sudah positif namun itu tidak menjamin perjalanan kehamilan saya akan lancar sampai tiba waktunya, kan?

Apalagi setelah mendengar kabar dua sahabat terdekat yang hamilnya bersamaan dengan saya mengalami keguguran. Makin berkecamuklah perasaan saya saat itu.

Syukurnya, saya bisa melewati kehamilan pertama dengan lancar. Beda halnya dengan kehamilan kedua yang sedari awal langsung saya umbar.

Alasannya, karena sudah punya pengalaman hamil sebelumnya dan saya merasa tidak perlu menyembunyikan kehamilan yang jaraknya bahkan belum genap setahun dengan kehamilan saya sebelumnya.

Memangnya kenapa kalau saya hamil lagi saat anak pertama masih usia 7 bulan? Toh, saya yang menjalaninya, saya yang menginginkan punya anak jarak dekat. Jadi saya nggak peduli dengan omongan orang di luar sana. Whatever.

Nah, kehamilan ketiga ini, saya kembali memilih untuk tidak terlalu mengeksposnya. Cukup suami dan tetangga dekat saja yang tahu.

Keluarga dari pihak saya dan suami sengaja tidak ada yang saya beritahu. Niatnya biar nanti jadi supprise saja, hehe.

Fyi, kalau tidak pulang ke rumah mertua pas mudik lebaran kemarin mungkin sampai saat ini belum ada keluarga suami yang tahu kalau saya hamil lagi.

Namun pada akhirnya mereka tahu sendiri setelah melihat perut saya yang membuncit. Tidak bisa saya sembunyikan meski sehari-hari saya muncul di hadapan mereka dengan menggunakan kerudung besar.

Kalau orang tua saya sendiri, tinggalnya jauh, di Papua. Selama hamil ini saya belum pernah ketemu langsung dengan mereka. Jadi selama saya tidak beritahu ya mereka juga nggak bakal tahu mau ada cucu lagi.

So far, karena mertua dan ipar-ipar saya sudah pada tahu jadi rasanya nggak enak kalau masih menutupi kabar kehamilan ini dari orang tua dan ketiga saudari saya.

Intinya, kalau ditanya pilih mengumumkan atau menyembunyikan kehamilan? Jawaban saya tergantung pilihan kita masing-masing. Mau langsung umumkan atau sembunyikan. Toh, biar ditutupi serapat mungkin nanti akan ketahuan juga. Entah ketika perutnya sudah gede atau ketika si baby sudah lahir.

Teman saya ada lho yang setelah melahirkan baru ditahu kalau dia hamil. Ada sedikit rasa kecewa yang muncul di hati teman-teman terdekatnya karena dia merahasiakan kehamilan ketiganya itu.

Belakangan atau tepatnya setelah saya mengalami sendiri, saya maklum dengan keputusannya itu. Kondisinya hamil anak ketiga saat anaknya juga masih kecil-kecil.

Jadi demi menghindari komentar pedas dari orang-orang sekitar dan menjaga kewarasan selama hamil ya mending tidak usah diumbar.

Nah, yang perlu dipahami di sini kehamilan yang terjadi dalam ikatan pernikahan bukanlah aib sehingga tidak harus ditutup-tutupi. Mau itu anak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya.

Namun alangkah bijaknya juga kalau kita tidak terlalu berlebihan mengekspos kehamilan agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan seperti penyakit ain dan juga untuk menjaga perasaan saudara atau teman kita yang masih berjuang untuk mendapatkan garis dua.

Sekian jurnalbunda kali ini. Sampai jumpa di jurnal berikutnya seputar kehamilan ketiga 🙂

Tentang Penulis

Halo, selamat datang di blog jurnal bunda. Tempat bunda berbagi cerita.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *